Sunday, May 13, 2007

.: Tentang Solo
Kota Solo (resminya Surakarta) dibangun pada tahun 1745, dimulai dengan pembangunan Keraton Kasunanan sebagai ganti ibu kota Kerajaan Mataram di Kartasura yang hancur. Pada 1742, orang-orang Cina memberontak melawan kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura (dikenal dengan Geger Pacinan). Begitu hebatnya pemberontakan ini, sehingga Keraton Kartasura hancur dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Berkat bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi bangunan kraton sudah hancur.
Kemudian dibangunlah keraton baru di Solo, 20 km ke arah selatan-timur dari Kartasura, pada 1745. Disusul kemudian lahirnya Perjanjian Giyanti (1755), yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dengan rajanya Paku Buwono II, dan Kasultanan Jogjakarta dengan rajanya Hamengku Buwono (HB) I. Keraton dan kota Jogjakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan kota Solo yang lebih dulu dibangun.
Pada tahun 1757, dua tahun setelah Perundingan Gijanti, Kerajaan Surakarta terbagi lagi setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan akhirnya atas dukungan Susuhunan lahirlah Perjanjian Salatiga yang isinya Pangeran Raden Mas Said diperkenankan mendirikan kerajaan sendiri, dengan nama Pura Mangkunegaran.
Berbeda dengan posisi keraton di Jogjakarta, Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran memiliki fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya jawa. Bertempat di Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran, masyarakat dapat mengikuti dan berperan serta dalam berbagai kegiatan budaya. Dikedua istana itulah kepribadian dan jati diri Solo tetap terjaga.
Perubahan fungsi itu disebabkan oleh banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan oleh kelompok komunis yang tidak menyukai sistem monarki kraton pada saat pemerintahan resmi NKRI mengakui Solo sebagai Daerah Istimewa Surakarta. Pengakuan ini merupakan response dari Presiden Soekarno ketika Susuhunan dan Mangkunegara memberikan pengakuan mereka atas kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dan menyatakan diri berdiri di belakang republik.
Sebagai kota yang sudah berusia lebih dari 250 tahun, Solo memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.
Kawasan Kauman, misalnya. Perkampungan ini dipenuhi beragam arsitektur rumah gedongan. Awalnya, Kampung Kauman yang berada di sisi barat depan Keraton Kasunanan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal (kaum) ulama kerajaan dan kerabatnya. Letaknya berdampingan dengan Masjid Agung keraton, di sisi barat alun-alun utara. Tapi pada perkembangannya Kauman mirip dengan kawasan Laweyan.
Banyak tumbuh produsen dan pedagang batik yang sukses, dan mereka berlomba membangun rumah mewah di perkampungan yang padat itu. Akibatnya, Kauman menjadi penuh dengan berbagai rumah gedongan yang berdesakkan, dan menyisakan gang yang sangat sempit bagi pejalan kaki.
Jika Kauman terletak di sisi barat depan alun-alun utara, di sisi timurnya terletak perkampungan Pasar Kliwon, kawasan permukiman warga keturunan Arab. Di Solo, warga keturunan Arab yang bermukim di kawasan Pasar Kliwon biasa dipanggil Encik Sar Kliwon. Banyak warga Arab yang sukses berdagang batik, sehingga kawasan ini juga dipenuhi dengan rumah gedongan.
Agak ke utara, di sekitar Pasar Gede Harjonagoro (salah satu warisan monumental Sinuhun Pakubuwono X, dirancang oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten, 1930) terletak kawasan perdagangan Balong. Kawasan ini merupakan konsentrasi permukiman warga etnis Cina yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.
Sebagai pecinan, kawasan ini memiliki banyak bangunan dengan arsitektur Cina. Di Solo, warga keturunan Cina yang bermukim di kawasan Balong biasa dipanggil Singkek Balong.
Laweyan, Kauman, Balong, Lodji Wetan atau Pasar Kliwon bukanlah sekadar kawasan dengan sekumpulan gedung tua, tapi juga merupakan jejak sejarah perkembangan tata kota Solo, dengan warna arsitektur dan latar belakang sosiologisnya masing-masing. Di situ bisa kita temui berbagai gedung dengan corak arsitektur Jawa, Eropa, Indis, Art Deco, Cina, hingga Timur Tengah.
Selain di tempat-tempat tersebut bangunan-bangunan tua bersejarah juga banyak terdapat di sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi, walaupun sebagian besar keberadaanya tertutup bangunan komersial seperti mall dan ruko yang tidak jelas pakem arsitektur-nya.

.: Solo, kota pertama
Berikut ini kejadian yang turut mewarnai sejarah bangsa Indonesia yang dilaksanakan di Solo :
  • Sarekat dagang Islam didirikan di Solo tahun 1905.
  • PON (Pekan Olahraga Nasional) pertama, dilaksanakan di Stadion Sriwedari Solo pada 9 September 1948.
  • RC (Rehabilitasi Centrum) Prof. Dr. Soeharso, sebagai satu-satunya RC di Indonesia, didirikan di Solo pada masa perjuangan kemerdekaan.
  • PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) didirikan di Solo pada 9 Februari 1946. Monumen pers nasional masih berdiri di Solo sampai sekarang.
  • PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) didirikan di Solo pada 25 November 1945.

No comments: