Thursday, May 17, 2007

MUSEUM KRATON SOLO


MUSEUM


Di antara ke dua bangunan utama tersebut dipisahkan oleh suatu taman terbuka yang ditengah-tengahnya terdapat satu patung pualam seukuran manusia dewasa.

Selain itu di taman ini juga dapat ditemua beberapa arca batu peninggalan dari jaman Hindu dan Budha.



Ruang I berisi gambar-gambar dan ukir-ukiran sebagai berikut :
  • Gambar SISKS Paku Buwana VII (1830-1858), Paku Buwana VII (1858-1861), Paku Buwana X dalam sebuah pigura yang besar.
  • Gambar SISKS Paku Buwana X berdiri dengan mengenakan busana kebesaran.
  • Dua buah gambar Kangjeng Ratu Hemas, permaisuri Paku Buwana X.
  • Beberapa kursi ukiran dari jaman SISKS Paku Buwana IV (1788-1920).
  • Dua buah kursi ukiran dari Giayar (Bali) yang dipersembahkan kepada SISKS Paku Buwana X.
  • Sebuah kursi ukir-ukiran tempat duduk SISKS Paku Buwana X.


Ruang II berisi benda-benda perunggu dan batik
Dalam almari-almari kaca dipajang bermacam-macam benda dan arca perunggu antara lain arca Budha Avalokiteswara, dan alat-alat upacara agama. Di dalam ruang ini juga terdapat arca Bali dari Jaman purbakala, yaitu arca Dewa Kuwera, arca Dewi Durga, arca Dewi Tara, dan arca Dewa Siwa Mahaguru.






Ruang III berisi adegan Pengantin Jawa dan perlengkapannya, yaitu :
  • Patung kuda dari kayu lengkap dengan pakaiannya, untuk dinaiki pengantin pria kerajaan.
  • Dua buah joli berukiran.
  • Sebuah joli besar berisi sebuah peti, keduanya berukiran dibuat pada jaman SISKS Paku Buwana X.
  • Peragaan dengan patung yaitu adegan pengantin perempuan dan laki-laki duduk bersila di Krobongan diapit dua patah.
  • Relief pada dinding yang melukiskan adegan sebagai berikut :

  • Keberangkatan calon pengantin kerajaan laki-laki dan perempuan dari Karaton Kepatihan.
  • Calon pengantin puteri duduk dalam joli, calon pengantin laki-laki naik kuda membawa tombak diiringi pengawal.
  • Pengantin menjalankan ikab-nikah.
  • Pengantin menjalankan tatacara panggih







Ruang IV berisi adegan kesenian rakyat
  • Adegan pagelaran wayang kulit purwa mencakup kelir, wayang dan dalang.
  • Wayang beber dengan perlengkapan : dhalang, niyaga dan gamelan.
  • Dinding sebelah timur terdapat relief :

  • Klenengan
  • Pertunjukan wayang kulit
  • Pertunjukan pada acara perkawinan, supitan, ruwat dan bersih desa.
  • Dinding sebelah barat dalam almari kaca terdapat adegan-adegan

  • wayang kulit purwa
  • wayang kulit gedhog
  • wayang kulit madya
  • wayang golek dari kayu berbentuk manusia
  • wayang klitik seperti wayang kulit tetapi dibuat dari kayu


Ruang V berisi topeng dan beberapa relief
Dalam ruang ini dipajang bermacam-macam topeng yang khusus digunakan untuk kelengkapan tari topeng, yang ceritanya mengambil dari cerita Panji Inukertapati, Panji Asmarabangun, Dewi Galuh Ajeng, Dewi Galuh Candrakirana, Klana dan sebagainya. Pada dinding sebelah timur terdapat relief sebagai berikut :
  • Pertunjukan jaran kepang/kuda lumping
  • Pertunjukan tarian teledek : seorang wanita menari diiringi gamelan
  • Pertunjukan Lawung : dua orang naik kuda membawa sodok bertarung dan diiringi gamelan
  • Pande keris
  • Upacara selamatan : beberapa orang berdoa memohon selamat dalam tatacara Islam




Ruang VI berisi alat upacara
  • Bokor, kendhi, beri, kecohan, sumbul
  • Perhiasan
  • Payung bersusun tiga untuk upacara kitanan SISKS Paku Buwana IV


Ruang VII berisi Kereta dan Joli Kerajaan, diantaranya :
  • Kereta Kyai Garudha. Dari Jaman SISKS Paku Buwana II di Kartasura, persembahan VOC.
  • Kereta Kyai Rajapeni.
  • Kereta terbuka, dipergunakan oleh Raja berkeliling kota, dan diperkirakan dari jaman SISKS Paku Buwana X.
  • Kereta Kyai Garudhaputra.
  • Kereta kerajaan dipakai pada jaman SISKS Paku Buwana VII sampai Paku Buwana X untuk menjemput tamu agung.
  • Disebelah selatan dalam almari kaca terdapat pakaian kusir, dan pakaian kuda.
  • Joli : tempat mengusung puteri Raja atau penari Srimpi.



Ruang VIII : Perang Diponegoro
  • Relief pertemuan antara SISKS Paku Buwana VI (1823-1830) dengan Pangeran Diponegoro. Keduanya dilukiskan sedang naik kuda dan masing-masing dengan pengawal.
  • Relief pengadilan pada jaman kuno (Pepe)
  • Pada dinding sebelah selatan dipajang senjata kuno antara lain : bedil, pistol, pedang, tameng, keris, panah, dan pelana kuda.
  • Pada dinding sebelah utara ada diorama yang menggambarkan perang Pangeran Diponegoro di Gua Selarong. Dalam diorama tadi tampak : Pangeran Diponegoro naik kuda putih, Kyai Maja, dan Sentot Prawiradirdja.


Ruang IX : tempat Kyai Rajamala dan lain-lain
Dalam ruangan ini tersimpan benda-benda Keraton Sebagai berikut :
  • Patung kayu Rajamala merupakan patung kepala raksasa untuk hiasan perahu pada jaman SISKS Paku Buwana IV
  • Maket rumah Jawa : gaya Joglo, Limasan dan gaya kampung
  • Patung-patung kecil dari tanah liat yang menggambarkan aneka warna pakaianabdi dalem dan prajurit Keraton.
  • Alat permainan rakyat : dakon, adu jangkrik, adu keci, dan adu kemiri
  • Alat untuk menyimpan nasi : Kenceng besar untuk keperluan perang
  • Alat-alat dapur
  • Keramik dan porselin Kuno yang dahulu menjadi perlen



Wednesday, May 16, 2007

Pamedan mangkunegaran











































Pamedan

Puro Mangkunagaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan akhirnya atas dukungan sunan lahirlah Perjanjian Salatiga yang isinya Pangeran Raden Mas Said diperkenankan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar KGPAA Mangkunegoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian sungai Pepe di pusat kota yan sekarang bernama Solo.





Puro Mangkunagaran yang sebetulnya awalnya lebih tepat disebut sebagai tempat kediaman pangeran daripada istana, dibangun mengikuti model keraton tetapi bentuknya lebih kecil. Bangunan ini memiliki ciri arsitektur yang sama dengan kraton, yaitu pada keberadaan pamedan, pendopo agung, paringgitan, dalem ageng dan keputren, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.
Seperti halnya bangunan utama di Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu.






Begitu memasuki pintu gerbang utama pura tampaklah Pamedan, yaitu suatu lapangan luas tempat berlatih prajurit pasukan Mangkunegaran. Di sebelah timur lapangan pamedan dapat dijumpai bangunan bekas kantor pusat pasukan berkuda pura Mangkunegaran, yang disebut Gedung Kavaleri.

Puro Mangkunagaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan akhirnya atas dukungan sunan lahirlah Perjanjian Salatiga yang isinya Pangeran Raden Mas Said diperkenankan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar KGPAA Mangkunegoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian sungai Pepe di pusat kota yan sekarang bernama Solo.





Puro Mangkunagaran yang sebetulnya awalnya lebih tepat disebut sebagai tempat kediaman pangeran daripada istana, dibangun mengikuti model keraton tetapi bentuknya lebih kecil. Bangunan ini memiliki ciri arsitektur yang sama dengan kraton, yaitu pada keberadaan pamedan, pendopo agung, paringgitan, dalem ageng dan keputren, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.
Seperti halnya bangunan utama di Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu.






Begitu memasuki pintu gerbang utama pura tampaklah Pamedan, yaitu suatu lapangan luas tempat berlatih prajurit pasukan Mangkunegaran. Di sebelah timur lapangan pamedan dapat dijumpai bangunan bekas kantor pusat pasukan berkuda pura Mangkunegaran, yang disebut Gedung Kavaleri.

Pendopo agung mangkunegaran

Pendopo agung

Pintu gerbang kedua membawa kita menuju halaman dalam tempat berdirinya Pendopo Agung yang berukuran 3500 meter persegi. Pendopo yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang ini, sampai sekarang masih merupakan pendopo Joglo terbesar di Indonesia.
Tiang-tiang kayu berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh di hutan Danalaya di perbukitan Wonogiri.

Seluruh bangunan Pendopo Agung didirikan tanpa menggunakan paku. Di dalam pendopo ini terdapat empat set gamelan, satu digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus.

Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna pari anom (padi muda) warna khas keluarga Mangkunegaran.
Pada langit-langit Pendopo Agung tergantung deretan lampu gantung antik.
Pada mulanya masyarakat yang hadir di pendopo duduk bersila di lantai. Kursi baru diperkenalkan pada akhir abad ke-19 waktu pemerintahan Mangkunegoro VI.


Hiasan langit-langit pendopo yang bernama Kumudawati berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa.
Dibuat pada masa KGPAA Mangkoenagoro VII tahun 1937, oleh arsitek Belanda Thomas Karsten.
Pada lukisan ini terdapat lambang 12 bintang dalam astrologi dan 8 kotak yang masing-masing memiliki warna dan makna yang berbeda, yaitu :
  • Kuning, bermakna selalu siaga
  • Biru, untuk mencegah bencana
  • Hitam, untuk melawan kemarahan
  • Hijau, untuk melawan stres
  • Putih, untuk melawan hawa nafsu
  • Orange, untuk melawan rasa takut
  • Merah, untuk melawan kejahatan
  • Ungu, untuk melawan pikiran jahat




Ndalem Ageng mangkunegaran

Ndalem Ageng


Tepat di bagian belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka, yang bernama Pringgitan, yang mempunyai tangga menuju ke Dalem Ageng, yaitu sebuah ruangan seluas sekitar 1000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur bagi pengantin kerajaan, ruangan Dalem Ageng sekarang ini difungsikan sebagai museum Pura Mangkunegaran.

Selain memamerkan petanen (tempat persemayaman Dewi Sri) yang berlapiskan tenunan sutera, yang menjadi pusat perhatian pengunjung, museum ini juga memamerkan perhiasan, senjata-senjata, pakaian-pakaian, medali-medali, perlengkapan wayang, uang logam, gambar raja-raja Mangkunegaran dan benda-benda seni.

Di bagian tengah Puro Mangkunegaran di belakang Dalem Ageng, terdapat tempat kediaman keluarga mangkunegaran. Tempat ini, yang masih memiliki suasana tenang bagaikan di rumah pedesaan milik para bangsawan, sekarang digunakan oleh para keluarga keturunan raja. Taman di bagian dalam yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga dan semak-semak hias, juga merupakan cagar alam dengan sangkar berisi burung berkicau, patung-patung klasik model eropa, serta kupu-kupu yang berwarna-warni dengan air mancur yang bergerak-gerak dibawah sinar matahari.






Menghadap ke taman terbuka, adalah Beranda Dalem, yang bersudut delapan, dimana terdapat tempat lilin dan perabotan Eropa yang indah. Kaca-kaca berbingkai emas terpasang berjejer di dinding. Dari beranda menuju ke dalam tampak ruang makan dengan jendela kaca warna bergambar yang berisi pemandangan di Jawa, ruang ganti dan rias para putri raja, serta kamar mandi yang indah.
Sisa peninggalan yang masih tampak jelas pada saat ini adalah perpustakaan yang didirikan pada tahun 1867 oleh Mangkunegoro IV. Perpustakaan tersebut terletak dilantai dua, diatas Kantor Dinas Urusan Istana di sebelah kiri pamedan. Perpustakaan yang daun jendela kayunya dibuka lebar-lebar agar sinar matahari dapat masuk, sampai sekarang masih digunakan oleh para sejarahwan dan pelajar. Mereka dapat menemukan manuskrip yang bersampul kulit, buku-buku berbagai bahasa terutama bahasa Jawa, banyak koleksi-koleksi foto yang bersejarah dan data-data mengenai perkebunan dan milik Mangkunegaran yang lain.

Masjid Mangkunegaran

Masjid Mangkunegaran
Disebelah barat dipisahkan oleh jalan raya terdapat bangunan Masjid Mangkunegaran. Pendirian Masjid Mangkunegaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panotogomo.
Sebelumnya terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa MN II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Puro Mangkunegaran.
Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Puro Mangkunegaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Kagungan Dalem Puro Mangkunegaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunegaran terjadi pada saat pemerintahan MN VII, pada saat itu MN VII meminta seorang Arsitek dari Perancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini.

Luas Kompleks masjid sekitar 4200 m2 dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar berbentuk lengkung.

Masjid Mangkunegaran terdiri dari :
  • Serambi, merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur RM. Said ketika keluar dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunegaran. Di serambi terdapat bedug yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara.
  • Ruang Shollat Utama merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Al-qur’an.
  • Pawestren, merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat khusus wanita.
  • Maligin, dibangun atas prakarsa MN V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunegaran. Sejak pemerintahan MN VII Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum.
  • Menara, dibangun tahun 1926 pada masa MN VII. Digunakan untuk menyuarakan adzan, pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
Saat ini Masjid Mangkunegaran bernama Masjid Al-Wustho, nama ini diberikan oleh Bopo Penghulu Puro Mangkunegaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi pada tahun 1949.

Masjid Mangkunegaran merupakan masjid yang cukup unik karena di sini dapat dilihat hiasan kaligrafi Al-qur’an di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/Kuncungan, soko dan Maligin.

Sunday, May 13, 2007

.: Tentang Solo
Kota Solo (resminya Surakarta) dibangun pada tahun 1745, dimulai dengan pembangunan Keraton Kasunanan sebagai ganti ibu kota Kerajaan Mataram di Kartasura yang hancur. Pada 1742, orang-orang Cina memberontak melawan kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura (dikenal dengan Geger Pacinan). Begitu hebatnya pemberontakan ini, sehingga Keraton Kartasura hancur dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Berkat bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi bangunan kraton sudah hancur.
Kemudian dibangunlah keraton baru di Solo, 20 km ke arah selatan-timur dari Kartasura, pada 1745. Disusul kemudian lahirnya Perjanjian Giyanti (1755), yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dengan rajanya Paku Buwono II, dan Kasultanan Jogjakarta dengan rajanya Hamengku Buwono (HB) I. Keraton dan kota Jogjakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan kota Solo yang lebih dulu dibangun.
Pada tahun 1757, dua tahun setelah Perundingan Gijanti, Kerajaan Surakarta terbagi lagi setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan akhirnya atas dukungan Susuhunan lahirlah Perjanjian Salatiga yang isinya Pangeran Raden Mas Said diperkenankan mendirikan kerajaan sendiri, dengan nama Pura Mangkunegaran.
Berbeda dengan posisi keraton di Jogjakarta, Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran memiliki fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya jawa. Bertempat di Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran, masyarakat dapat mengikuti dan berperan serta dalam berbagai kegiatan budaya. Dikedua istana itulah kepribadian dan jati diri Solo tetap terjaga.
Perubahan fungsi itu disebabkan oleh banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan oleh kelompok komunis yang tidak menyukai sistem monarki kraton pada saat pemerintahan resmi NKRI mengakui Solo sebagai Daerah Istimewa Surakarta. Pengakuan ini merupakan response dari Presiden Soekarno ketika Susuhunan dan Mangkunegara memberikan pengakuan mereka atas kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dan menyatakan diri berdiri di belakang republik.
Sebagai kota yang sudah berusia lebih dari 250 tahun, Solo memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.
Kawasan Kauman, misalnya. Perkampungan ini dipenuhi beragam arsitektur rumah gedongan. Awalnya, Kampung Kauman yang berada di sisi barat depan Keraton Kasunanan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal (kaum) ulama kerajaan dan kerabatnya. Letaknya berdampingan dengan Masjid Agung keraton, di sisi barat alun-alun utara. Tapi pada perkembangannya Kauman mirip dengan kawasan Laweyan.
Banyak tumbuh produsen dan pedagang batik yang sukses, dan mereka berlomba membangun rumah mewah di perkampungan yang padat itu. Akibatnya, Kauman menjadi penuh dengan berbagai rumah gedongan yang berdesakkan, dan menyisakan gang yang sangat sempit bagi pejalan kaki.
Jika Kauman terletak di sisi barat depan alun-alun utara, di sisi timurnya terletak perkampungan Pasar Kliwon, kawasan permukiman warga keturunan Arab. Di Solo, warga keturunan Arab yang bermukim di kawasan Pasar Kliwon biasa dipanggil Encik Sar Kliwon. Banyak warga Arab yang sukses berdagang batik, sehingga kawasan ini juga dipenuhi dengan rumah gedongan.
Agak ke utara, di sekitar Pasar Gede Harjonagoro (salah satu warisan monumental Sinuhun Pakubuwono X, dirancang oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten, 1930) terletak kawasan perdagangan Balong. Kawasan ini merupakan konsentrasi permukiman warga etnis Cina yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.
Sebagai pecinan, kawasan ini memiliki banyak bangunan dengan arsitektur Cina. Di Solo, warga keturunan Cina yang bermukim di kawasan Balong biasa dipanggil Singkek Balong.
Laweyan, Kauman, Balong, Lodji Wetan atau Pasar Kliwon bukanlah sekadar kawasan dengan sekumpulan gedung tua, tapi juga merupakan jejak sejarah perkembangan tata kota Solo, dengan warna arsitektur dan latar belakang sosiologisnya masing-masing. Di situ bisa kita temui berbagai gedung dengan corak arsitektur Jawa, Eropa, Indis, Art Deco, Cina, hingga Timur Tengah.
Selain di tempat-tempat tersebut bangunan-bangunan tua bersejarah juga banyak terdapat di sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi, walaupun sebagian besar keberadaanya tertutup bangunan komersial seperti mall dan ruko yang tidak jelas pakem arsitektur-nya.

.: Solo, kota pertama
Berikut ini kejadian yang turut mewarnai sejarah bangsa Indonesia yang dilaksanakan di Solo :
  • Sarekat dagang Islam didirikan di Solo tahun 1905.
  • PON (Pekan Olahraga Nasional) pertama, dilaksanakan di Stadion Sriwedari Solo pada 9 September 1948.
  • RC (Rehabilitasi Centrum) Prof. Dr. Soeharso, sebagai satu-satunya RC di Indonesia, didirikan di Solo pada masa perjuangan kemerdekaan.
  • PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) didirikan di Solo pada 9 Februari 1946. Monumen pers nasional masih berdiri di Solo sampai sekarang.
  • PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) didirikan di Solo pada 25 November 1945.

KERATON SOLO

sitihinggil kidul

Kori Brojonolo Kidul memberikan akses ke Sitihinggil Kidul. Sitihinggil Kidul adalah suatu komplek bangunan pendopo terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek, didirikan 2 Rabiulakir Wawu 1721, pada jaman dahulu terdapat 4 meriam, 2 diantaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan komplek Sitihinggil Lor yang megah, komplek Sitihingil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan kraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.

Kebalikan utara dan selatan bangunan di kraton berkaitan dengan filosofi jawa 'Donya Sungsang Walik'. Bangunan-bangunan di utara kraton yang megah melambangkan nafsu dan keinginan duniawi yang ada di dalam diri manusia, sementara kesederhanaan di bagian selatan melambangkan dalam perjalanan persatuan dengan Tuhan, manusia harus meninggalkan benda-benda dan keinginan duniawi. Dalam tahap spiritual ini manusia harus fokus dan berorientasi kepada Tuhan, Sang Hyang Tunggal.


Alun-Alun Kidul

Disebelah selatan Sitihinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-alun Lor. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di area tersebut.
Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengan ujung selatan yang bernama Gapura Gading. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladak.
Gapurendra

Pada tahun 1932, Sunan Pakubuwono X, menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun Kidul dari arah barat dan timur.
Ketiga gerbang di Alun-Alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendro , gapura terakhir yang ditambahkan oleh Sunan Pakubuwono X inilah yang saat ini dikenal masyarakat sebagai Gapura Gading.

pendopo magangan

Setelah memasuki seluruh area kedaton, sebelum sampai di Sri Manganti kidul kita akan jumpai suatu tempat perkantoran, yaitu kantor “Pengageng Parentah Keraton” (kepala pemerintahan keraton) dan Sasono Pustoko, yaitu sebuah tempat untuk menyimpan arsip-arsip dan buku-buku keraton.

Lewat Sri Manganti kidul kita akan jumpai Pendopo Kemagangan. Disinilah tempat para calon prajurit berlatih. Di sekeliling halaman ini ada bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit, seperti keris, pedang, bedil, pistol dan pakaian seragam prajurit untuk hari-hari besar keraton. Di tengah-tengah Magangan ada tempat untuk menyimpan meriam yang dibunyikan pada setiap lebaran.

Di sebelah selatannya ada pelataran lagi yang di kiri kanannya ada perkantoran prajurit, kantor intendans dan lain-lain.

Di tengah-tengah Pendopo Magangan ada bangsal untuk pisowanan Abdi Dalem wanita (keputren). Di bagian luar Sri Manganti kidul terdapat pacaosan Keparak.

kori Gadungmlati, kamandungan dan brojonolo kidul
Keluar dari area Magangan, melalui pintu Kori Gadung Mlathi/ Saleko/ Sembagi kita akan menjumpai pelataran Kamandungan Kidul. Kata Gadungmlati (putih dan hijau) bermakna simbolis hubungan kraton dengan ratu penguasa laut selatan. Saleko bermakna persatuan dengan Sang Hyang Tunggal. Sedangkan kata Sembagi bermakna bersatunya semua warna menjadi warna putih.
Di sebelah selatan kori Gadung Mlathi dapat dijumpai lagi Kori Kamandungan Kidul, pintu masuk kraton dari arah selatan yang dihiasi dengan hiasan dekoratif sarat makna, salah satunya rangkaian melati yang bermakna kesucian. Disekitar pintu ini akan dijumpai lagi pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum. g
Melewati Kori Kamandungan Kidul akan dapat dijumpai Kori Brajanala kidul. Di sebelah kiri dan kanan Kori Brajanala kidul terdapat bangsal Nyutra dan bangsal Mangundara.

Kemudian ada lagi Supit Urang wetan dan Supit Urang kulon yang di tengah-tengahnya terdapat lagi Siti Hinggil (kidul). Dan akhirnya kita sampai di alun-alun kidul dan terus ke selatan keluar area kraton dari Gapura Gading.

kraton kilen

Di sebelah selatan dari dalem Ageng Proboyekso terdapat satu komplek bangunan terdiri dari beberapa ruangan dan taman yang bernama Dalem Pakubuwanan. Komplek pribadi kerabat istana ini dikelilingi oleh bangunan 2 lantai yang disebut Gedhong Langen Katong.
Di sebelah barat dari komplek ini terdapat bangunan yang bernama Madusoko, tempat tinggal Sunan Pakubuwono XI. Sementara di sebelah selatan Langen Katong terdapat Gedhong Sasono Hadi, tempat tinggal Sunan Pakubuwono XII.



Dari Madusoko ke arah barat terdapat suatu gunung kecil, yang diberi nama Ngargopuro, dimana di dalamnya dapat dijumpai sebuah taman. Di atasnya terdapat tiga buah bangunan rumah yang masing-masing diberi nama Ngargomulyo, Ngargopeni dan Ngargosonyo.
Turun dari Ngargopuro di sebelah barat kita memasuki Kedhaton Kilen. Dalem Proboyekso, Dayitno, Ngargopuro dan kedhaton kulon dinamakan Kawasan Keputren. Kawasan yang dihuni oleh wanita saja.

Di bagian barat dari kedhaton ada halaman yang dinyatakan angker, wingit, namanya Bandengan. Sebagimana namanya di dalam Bandengan ada sebuah blumbang (kolam) besar yang ada ikan mas dan ikan gurami dengan puluhan burung meliwis. Dahulu juga memelihara beberapa ekor buaya, selanjutnya juga ada masjid kagungan dalem yang namanya Masjid Pujosono dan sebuah bangunan yang namanya Mantenan, tempat untuk membersihkan wesi aji dan juga tempat dimana Sinuhun “medar sabdo“ memberi wejangan, untuk pengunjung yang jumlahnya terbatas.

Di halaman bandengan disimpan sebuah batu meteror yang jatuh pada awal abad 20 di sekitar Prambanan, batu meteor mengandung fero-nikkel, karenanya sangat baik untuk dipakai sebagai bahan pamor wesi aji. Di sebelah bandengan ada tempat yang dinamakan Langensari untuk memelihara kuda-kuda besar kelangenan Sinuhun.

Selain bandengan bagian-bagian lain di keraton yang dinyatakan wingit, sehingga orang harus hati-hati kalau memasukinya adalah Siti Hinggil, Panggung Songgobuwono, Dalem Ageng Proboyekso serta Sanggar Pamujan.

kori brojonolo lor
Keluar dari Siti Hinggil ke arah selatan kita melewati dua pintu lagi yang dinamakan Kori Renteng dan Kori Mangu (renteng = pertentangan dalam hati, mangu = ragu-ragu).
Seterusnya kita menemui pintu raksasa dari kayu yang dinamakan Kori Brodjonolo Lor. Kata Brodjonolo mengandung arti yaitu brodjo artinya gaman (senjata) yang sangat tajam, sedangkan nolo artinya pikir. Jadi arti yang terkandung di dalamnya, kalau kita mau melewati pintu ini kita diminta agar segala sesuatu harus kita pikirkan dalam-dalam dulu, dengan kata lain kita diminta selalu waspada. Pintu ini dibangun waktu Sinuhun Pakubuwono ke-II pada tahun 1694 H(1757 M).
Di atas pintu kori diberi tanda sengkalan memet berupa kulit sapi persegi: “Lulang sapi siji = wolu ilang sapi siji” (1708 atau 1782 M), yaitu jaman Pakubuwono III.
Di kiri kanan pintu, baik yang disebelah luar maupun yang disebelah dalam ada bangsal-bangsal kecil. Di sebelah luar pintu ada bangsal Pacaosan Abdi Dalem Brajanala Kiwa dan Tengen. Di sebelah dalam pintu ada bangsal Pacaosan Abdi Dalem Wisamarta Kiwa dan Tengen (wiso = bisa , marto = penawar).
Bangsal-bangsal ini dipergunakan untuk para abdi dalem yang sedang bertugas jaga. Di atas pintu Brodjonolo di sebelah timur ada lonceng besar yang biasa disebut Jam Panggung, lonceng itu sampai sekarang masih dibunyikan.
kori kamandungan
Melalui pintu masuk Brodjonolo ini kita sampai di pelataran yang dinamakan Pelataran Kamandungan, disebelah kiri dan kanan pelataran ada dua brak. Brak di sebelah timur dipergunakan untuk prajurit-prajurit n’jobo (luar) sebagai penjaga bagian luar keraton dan brak di sebelah barat dipergunakan untuk prajurit-prajurit Belanda.
Bangunan yang paling menonjol di Pelataran Kamandungan adalah Baleroto, suatu teras terbuka yang dihiasi dengan ukiran besar berwarna biru dan putih sebagai tempat tunggu tamu yang akan menghadap Sunan. Di depan Baleroto terdapat 2 patung raksasa Cingkorobolo dan Boloupoto. Di sebelah kiri dan kanan Baleroto ada los-los, untuk tempat parkir kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan yang akan dipakai oleh Sinuhun Pakubuwono.
Begitu masuk pintu Kamandungan kita akan berhadapan dengan kaca pengilon besar (cermin) siapa saja yang melalui kaca itu pasti akan berhenti sejenak, untuk memeriksa dirinya, apakah segala sesuatu yang dipakai sudah pantas mengingat kita akan memasuki keraton, tempat tinggal seorang raja. Arti yang terkandung didalamnya ialah kita diminta selalu mawas diri. Memang segala sesuatu yang kita jumpai di keraton mengandung kiasan sendiri, mengandung piwulang.
kori srimanganti
Di belakang kori Kamandungan kembali akan kita jumpai suatu pelataran yang disebut Sri Manganti. Di kanan kiri Sri Manganti ada 2 bangunan bangsal.
Bangsal di sebelah timur dinamakan Bangsal Mercukondo, bangsal ini dipergunakan untuk:
  • Tempat prajurit-prajurit n’jero (dalam) yang bertugas jaga di dalam keraton.
  • Pisowanan (sowan = menghadap).
  • Pelantikan opsir-opsir yang naik pangkat.
Smorokoto

Di belakang bangsal ini ada sebuah penjara kecil yang disebut Panti Pidono, yang dipergunakan untuk mengadili kerabat keraton yang bersalah dan perlu dihukum. Untuk tindak pidana demikian, bagi para kerabatnya keraton memiliki perangkat peradilan tersendiri.

Adapun bangsal yang terletak disebelah barat Sri Manganti dinamakan Bangsal Smorokoto atau Bangsal Marokoto, bangsal ini dipergunakan sebagai tempat tunggu bagi para abdi dalem yang berpangkat Bupati keatas pada waktu ada pisowanan. Bangsal-bangsal ini dibuat oleh Sinuhun Pakubuwono ke-III dan diselesaikan oleh Sinuhun Pakubuwono ke-IV, yaitu pada hari Senin 13 Rabihulakir 1714 Jawi atau 4 April 1814 M.

Untuk memasuki pelataran keraton kita melewati lagi sebuah pintu yang dinamakan Kori Sri Manganti Lor yang dibuat oleh Sinuhun Pakubuwono ke-III pada tahun 1685 Jawi (1758 M).
Didepan Kori Sri Manganti akan dijumpai lagi kaca pengilon besar, tujuan pemasangannya sama dengan pemasangan kaca pengilon di depan pintu Kamandungan, yaitu agar kita selalu mawas diri dan introspeksi.
Setelah melewati kori Sri Manganti, kita akan sampai di pelataran dalam keraton.

Srimanganti
panggung songgobuwono
Songgobuwono Di pelataran keraton sebelah timur kori Sri Manganti ada sebuah panggung yang dinamakan Panggung Songgobuwono. Di puncak panggung ada sebuah ukiran berupa orang yang sedang naik ular bersayap. Dalam bahasa Jawa gambar itu berbunyi sengkalan “Nogo muluk titihan Janmo“. Harmonisasi kori Sri Manganti dan Panggung Songgobuwono adalah lambang dari lingga dan yoni.
Baik kata-kata panggung Songgobuwono maupun nogo muluk titihan janmo kalau ditulis dalam aksara jawa akan menunjukkan angka 1198, yang merupakan tahun dibangunnya Panggung Songgobuwono.
Panggung Songgobuwono adalah alat pelengkap suatu benteng. Dari tingkat paling atas dapat dilihat jalan masuk ke keraton dan bagian dalam benteng Belanda yang ada di sebelah utara Gladak. Serta lalu lintas keluar masuk alun-alun, sampai pada awal abad 20 masih dipergunakan untuk melihat siapa yang memasuki alun-alun. Apabila itu orang asing, Belanda atau Cina maka dibunyikan selompret oleh para penjaga yang ada di Panggung Songgobuwono sebagai tanda bahaya. Mendengar selompret ini para penjaga yang ada di pagelaran memeriksa dan kalau perlu menolak orang-orang asing yang hendak memasuki alun-alun. Pada dalam masa aman sekarang, selompret masih dibunyikan apabila ada tamu-tamu asing yang datang atas undangan Sinuhun untuk menghadiri upacara-upacara yang diselenggarakan di dalam keraton. Songgobuwono
Mendengar bunyi selompret para pangeran yang tadinya duduk menunggu di Serambi Untorosono, akan bersiap menjemput para tamu di halaman Sri Manganti.
Pada masa keadaan belum aman pada abad ke-18 dan 19 selompret dibunyikan sebagai komando pasukan berkuda, yang selalu siap di halaman Kamandungan, untuk menyerbu jika seandainya ada musuh yang sudah berhasil memasuki alun-alun atau melalui jalan supit-urang yang ada di kiri kanan Siti Hinggil.
pagelaran sasonosumewo
Setelah melewati alun-alun utara kita sampai di Bangsal Pagelaran Sasonosumewo. Di depan bangsal ini dapat ditemui suatu monumen yang bertinggi sekitar 6 meter, yang merupakan tugu peringatan 200 tahun berdirinya keraton Surakarta Hadiningrat. Tugu ini dinamakan Tugu Tomas Warso, berbentuk seperti sebuah bom sebagai peringatan pengeboman kota Solo oleh tentara Jepang pada tahun 1940-an.
Ketika baru pindah dari Kraton Kartosuro, Bangsal Pagelaran masih berupa bangunan darurat dari gedeg dengan alas belum diplester. Pada tahun 1913 M dimasa pemerintahan Sinuhun Pakubuwono ke-X bangsal tersebut dipugar, sehingga berwujud seperti bangunan yang dapat kita lihat seperti sekarang ini, dengan 48 pilar.
Di tengah-tengah Pagelaran ada sebuah bangsal kecil yang diberi nama bangsal Pangrawit.
Bangsal ini biasa dipergunakan Sinuhun kalau ada upacara, seperti upacara wisudaan para anggota sentono-dalem dan para pegawai-pegawai tinggi berpangkat bupati keatas. Upacara-upacara semacam ini dinamakan Miyos Tinangkil.

Di bangsal Pangrawit ada sebuah batu yang namanya Selo gilang, yang dipergunakan Sinuhun untuk bancik kaki. Selo gilang ini sudah ada sejak Panembahan Senopati di keraton Kota Gedhe.

Di sebelah kiri dan kanan pagelaran ada dua bangunan kecil yang dinamakan Pacikeran dan Pacekotan. Bandsal Pacekotan (melompat kegirangan) dipergunakan untuk upacara pemberian tanda kehormatan/ gelar kerajaan. Sementara bangsal Pacikeran (ciker, ketakutan) dipergunakan sebagai tempat untuk menjatuhkan hukuman.

Di dalam komplek Pagelaran ada pintu ke timur dan ke barat, masing-masing menuju ke Supit Urang Wetan dan Supit Urang Kilen. Keluar dari Pagelaran menuju ke selatan kita akan melewati pintu yang diberi nama Kori Wijil. Di depan pintu ini ada sebuah batu, dibawah batu ini ditanam kepala dari seorang gembong penjahat bernama Sandiman yang dihukum pancung.

Di kiri kanan kori widjil ada dua bangsal kecil yaitu Bangsal Singonagoro, yang biasa dipergunakan untuk memutusi perkara-perkara pidana, sedangkan yang lain dinamakan Bangsal Martolulutan dipergunakan untuk upacara-upacara pemberian hadiah kepada rakyat kecil.

Sitihinggil Lor
Setelah melewati Kori Widjil kita akan sampai di Siti Hinggil Binoto Waroto. Di dalam Siti Hinggil ini ada pendopo yang dinamakan Bangsal Sewojono/ Bangsal Ponconiti, dan di dalamnya ada bangsal kecil lagi yang dinamakan Bangsal Mangunturtangkil yang biasa dipergunakan untuk duduk Sinuhun waktu merayakan grebegan. Siti Hinggil yang juga biasa dinamakan sebagai Siti Bentaryang, dibangun oleh Sinuhun Paku Buwono ke-III pada tahun 1701 Jawi (1774 M).
Di komplek Siti Hinggil ada 5 bangsal lagi yaitu:
  • Bangsal Witono, yang dipergunakan sebagai tempat duduk para wanita pembawa tanda kebesaran raja ketika duduk di singasana di Sitihingil Lor. Tanda kebesaran Raja yang dibawa berupa Banyak Dalang, Sawung Galing, Ardo Waliko dan Kukutuk Mino. Ditengah Bangsal Witono dapat dijumpai krobongan tempat menyimpan meriam Nyai Setomi.
  • Bale Angun-angun dipakai untuk menempatkan gamelan Kyahi Kanigoro, dengan gong kuno bernama Kyahi Surak. Pada hari biasa bangsal ini dipakai untuk duduk para pegawai dan abdi dalem Gandhek tengen dan Sorogeni.
  • Bale Gandhekan Tengen dipakai untuk menempatkan gamelan yang memainkan komposisi Kodok ngorek untuk mengiringi jalannya prosesi Garebek dengan gong Kyahi Sekar Delimo.
  • Bangsal Balebang yang dipakai untuk menyimpan pusaka-pusaka berupa gamelan diantaranya Gamelan Patalon Singokrungu (gamelan Setu), Munggang, Gamelan Kodok Ngorek Kyahi Panji, Gamelan Corobalen Kyai Rendang (Prajutit Baki), Gamelan Gento (dapat memainkan komposisi gamelan jawa maupun orkestra eropa), Kyai Sukasih, Kyai Pamesih dan Gamelan Santiswara.
  • Bangsal Gandhekan Kiwo, berfungsi sama dengan Bangsal Gandhekan Tengen.
Di komplek Siti Hinggil dan sekitarnya akan kita temui beberapa meriam pusaka yang masing-masing ada namanya, yaitu :
  • Kyai Poncoworo, pernah dipakai oleh Sinuhun Mangkurat Agung, dibuat pada tahun 1645 M.
  • Kyai Santri, dibuat pada tahun 1650 M.
  • Kyai Syuhbrasto dan Kyai Segorowono, kedua meriam ini bermakna kesedihan Pakubuwono VII karena kehilangan kekuasaan atas laut dan hutan
  • Kyai Brinsing dari Siam (sekarang Thailand).
  • Kyai Bagus dan Kyai Alus dari Jenderal Van der Leen.
  • Kyai Nakulo dan Kyai Sadewo, pemberian V.O.C
  • Kyai Kumborowo, Kyai Kumborawi dan Kyai Kadalbuntung dari Zaman Mataram.
Alun-Alun Lor
Setelah melewati 3 pasang gapura akan dijumpai suatu lapangan yang sangat luas, kurang lebih sekitar 10 hektare yang disebut Alun-Alun Lor/ Utara.
Seluruh tanah di Alun-Alun Utara dibuat rata, hal ini dimaksudkan supaya orang yang memasuki alun-alun sudah dapat dilihat dari kejauhan. Saat ini tanah rata di Alun-Alun Utara telah berganti mejadi rumput, sementara di bagian tengahnya terdapat jalan setapak yang dikelilingi pohon palem.
RinginKurung

Ditengah-tengah alun-alun utara terdapat sepasang pohon beringin yang dikurung pagar besi. Masyarakat sampai sekarang menamakannya sebagai Ringin Kurung Sakembaran. Yang di sebelah barat diberi nama Joyodaru (Cahaya Kemenangan), sedangkan yang di sebelah timur diberi nama Dewodaru (Cahaya Keagungan). Kedua pohon beringin ini pindahan dari Keraton Kartosuro, pada waktu pindahnya pohon-pohon ini diemban dengan cinde, masing-masing digendong oleh Adipati Pringgoloyo dan Adipati Sindurejo.

Mengelilingi Alun-alun Utara masih banyak dijumpai pohon beringin, dua diantaranya dinamakan Weringin Gung (tinggi) dan Weringin Binatur (rendah), yang bermakna tidak boleh terlalu meninggikan diri dan tidak boleh juga terlalu merendahkan diri. Sementara pohon beringin lainnya dipergunakan sebagai pohon peneduh, yang bermakna pengayoman/ perlindungan abadi tanpa batas.

Pekapalan dan Pewatangan
Di sekitar alun-alun, di sebelah utara terdapat bangsal kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada jaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih.
Beberapa bale lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini, semenjak digantikannya kuda dengan mode transportasi modern.
Bale tersebut diantaranya adalah Gedong Kiwo, Keparak Kiwo, Jekso, Penumping, Paseban Pemajegan, Kadipaten Anom, Bumi gede, Keparak tengen, Gedong Tengen dan Bangsal Patalon. Bangunan-bangunan ini sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cindera-mata.
Slompretan Di sebelah barat daya alun alun lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat 2 gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Batangan dan Gapura Klewer.
Tugu Pamandengan

Titik akses utama menuju Keraton Surakarta dari arah utara sesungguhnya adalah Tugu Pamandengan. Tugu ini terletak sekitar 300 meter ke arah utara dari gerbang utama keraton yang disebut Gapura Gladag, tepat di depan Balaikota Surakarta saat ini.

Tugu Pamandengan berfungsi sebagai titik fokus pandangan Sri Susuhunan Pakubuwono ketika beliau duduk sinewoko di tempat yang ditinggikan di Bangsal Pagelaran. Memfokuskan pandangan pada Tugu Pamandengan terutama bagian puncaknya, dipercaya sebagai salah satu sarana meditasi yang sangat kuat bagi Sri Susuhunan Pakubuwono.


Gapura gladhaG

Gladhag Lurus ke arah selatan dari Tugu Pamandengan terdapat satu gapura besar yang berfungsi sebagai pintu gerbang pertama memasuki kawasan keraton dari arah utara, gerbang ini dinamakan Gapura Gladhag . Gapura ini dibangun pada tahun 1913 M dan diperbaiki pada tahun 1930 M. Gapura Gladhag dihiasi dengan 48 motif dan 48 garis yang membentuk pagar, sebagai tanda peringatan ulang tahun Sri Susuhunan Pakubuwono X.

Di depan gapura, di sebelah kiri dan kanannya, berdiri dua buah arca kembar besar. Arca yang berwujud raksasa ini dinamakan Arca Pandhito Yakso, yang dibuat di Pandansimping Klaten.
Pada jaman dahulu tempat di belakang Gapura Gladhag dipergunakan sebagai tempat mengekang binatang-binatang hasil perburuan sebelum disembelih. Makna simbolis yang ada di area Gladhag adalah manusia yang ingin mendapatkan kekuatan fisik dan spiritual harus mampu menahan dan mengekang hawa nafsu.

Sebelum memasuki alun-alun utara kita melewati lagi gapura yang kedua dan ketiga, yang dinamakan Gapura Pamurakan, tempat ini dihiasi dengan motif dekorasi api dan matahari. Di tempat ini dulu dilakukan pemotongan hewan hasil perburuan seperti babi hutan, menjangan dan lain-lain untuk dibagikan pada rakyat. Tempat penyembelihan yang disebut Centheng dan berusia lebih dari 500 tahun, masih dapat ditemui sampai sekarang. Makna simbolis dari area ini adalah manusia harus mampu menahan/ membunuh emosi dan amarah.

Di sebelah selatan Gapura Pamurakan ditanam pohon beringin. Yang di sebelah kiri diberi nama Weringin Wok, yang artinya perempuan, sedangkan yang di sebelah kanan diberi nama Weringin Djenggot yang artinya laki-laki. Kedua pohon beringin ini pada jaman dahulu dipergunakan sebagai tempat istirahat prajurit Bang Wetan dan Bang Kulon.
Masjid agung
Di sebelah barat alun-alun utara ada sebuah masjid yang diberi nama Masjid Agung Surokarto Hadiningrat.
Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 m2 yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan pagar tembok keliling setinggi 3,25 m. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka, saka gurunya dibuat pada jaman Pakubuwono III tahun 1789 M atau “Trusing sarira winayang ratu“ atau 1177 H (hangraras temen pangandikaning Nabi) atau 1204 H (dadi luhur manembahing Allah). Dahulu masjid ini diurusi oleh Kawedanan Yogaswara.
Bangunan Masjid Agung terdiri dari :
  • Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
  • Ruang Shollat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu Sholat Jum’at.
  • Pawestren, (tempat shollat untuk wanita) dan Balai Musyawarah
  • Tempat berwudhu
  • Pagar Keliling (topengan), dibangun pada masa PB VIII tahun 1858.
  • Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad S.A.W.)
  • Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Sholat Jum’at dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
  • Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono X (1914) dan menjadi milik kraton.
  • Menara Adzan, bertinggi 33 meter mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928 oleh Pakubuwono X saat ultah beliau yang ke-40.
  • Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu sholat.
  • Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.
Dalam acara Sekaten (Muludan), di bangsal sebelah selatan dibunyikan gamelan bernama Kyai Gunturmadu, dibuat pada jaman Pakubuwono IV tahun 1818 (Naga Raja Nitih Tunggal). Di bangsal sebelah utara diperdengarkan gamelan yang bernama Kyai Guntursari, dibuat jaman awal Mataram Islam tahun 1566 (Rerenggan wowohan tinata ing wadah). Gending yang diperdengarkan adalah Gending Rangkung.
Di podium masjid terdapat tulisan “rukuning Islam iku limang prakara”, di sebelahnya lagi ada ukiran kayu dengan kaligrafi yang dibuat pada jaman Pakubuwono III (tahun Wawu 1769).